Tangkap dan Periksa Hakim Yang Putuskan Pemilu Ditunda

Berkacalah pada Ukraina, Mesir, Libya, Irak, Venezuela

Oleh: Agusto Sulistio, Pegiat Sosmed

JAKARTA, (otonominews) - Sebelumnya Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Desmond Mahesa menyoroti putusan Hakim Pengadilan Jakarta Pusat, terkait putusan penundaan Pemilu.

Menurutnya, keputusan itu  menghebohkan sebab menghukum Tergugat (dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum /KPU) untuk tidak melaksanakan tahapan Pemilihan Umum 2024 yang masih tersisa. Dengan kata lain PN Jakpus menghukum KPU untuk menunda Pemilu hingga Juli 2025. 

Putusan tersebut ada di poin lima dari putusan PN Jakpus yang mengabulkan gugatan Partai Prima. “Menghukum Tergugat (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua ) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” demikian bunyi putusan yang diketok oleh ketua majelis T Oyong dengan anggota Bakri dan Dominggus Silaban itu, Kamis 2 Maret 2023.

Dari putusan Hakim PN yang dirasa janggal itu kemudian muncul pertanyaan. Apakah sebelum Hakim memutuskan perkara tidak membaca UU dan berkonsultasi dengan koleganya. Rasanya aneh jika Hakim PN tersebut jika tidak memahami perkara dan aturan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, penundaan pemilihan umum hanya dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu yang diatur dalam undang-undang tersebut, seperti bencana alam, gangguan keamanan, atau keadaan darurat lainnya. 

Hakim pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan penundaan pemilihan umum hanya berdasarkan gugatan partai politik yang tidak lolos verifikasi oleh KPU, dalam hal ini gugatan yang dilakukan oleh Partai Prima.

Maka UU mengatur bahwa partai politik yang tidak puas dengan keputusan KPU dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebav MK memiliki kewenangan mengadili sengketa hasil pemilihan umum dan dapat memutuskan untuk mengulang pemilihan umum jika terbukti adanya pelanggaran hukum yang mempengaruhi hasil pemilihan. 

Akan tetapi MK pun tsk dak dapat memutuskan penundaan pemilihan umum kecuali dalam keadaan yang memenuhi syarat yang diatur dalam undang-undang tersebut.

Terhadap keputusan Hakim tersebut maka patut diduga dalam putusan ini terjadi mal praktek hukum atau kongkalikung yang orientasi menunda pemilu.

Karena itu, masyarakat boleh memiliki dugaan atau kecurigaan atas keputusan pengadilan yang nyata melanggar UU atau aturan yang berlaku. 

Sehingga masyarakat dapat mengajukan banding atau upaya hukum lainnya untuk memperjuangkan keadilan.

Oleh karena hal ini diduga ada upaya rekayasa penundaan pemilu oleh kelompok tertentu melalui putusan hakim PN atas gugatan Partai Prima, maka pihak berwenang yakni Mahkamah Agung, KPK dan Polri harus segera membentuk tim khusus guna memeriksa semua pihak terkait, guna memastikan motif dan dalang dibelakung persoalan ini.

Jika hal ini dibiarkan maka dapat membahayakan masa depan rakyat dan negara Indonesia, guna menjamin lembaga hukum yang berpihak kepada UU dan Rajyat. 

Maka kelak usai Pilpres atau Pemilu, saat proses peralihan kekuasaan (masa transisi) tidak terjadi mal praktek lembaga yudikatif negara yang mengintervensi pihak pemenang pemilu atau pilpres nanti. Sehingga hak-hak pihak pemenang tidak dilemahkan, yang bisa berujung pada konflik kekacauan sosial.

Dari data lembaga dunia beberapa negara alami kekacauan pasca proses transisi kekuasaan akibat intervensi lembaga hukum terhadap pemenang pemilu. Berikut datanya;

1. Ukraina. Setelah Revolusi Oranye tahun 2004, proses transisi kekuasaan di Ukraina tidak stabil. Ditahun 2014, Presiden Viktor Yanukovych digulingkan setelah adanya protes besar-besaran yang didorong oleh kecurangan pemilu dan korupsi. 

2. Mesir. Pada tahun 2011, terjadi Revolusi Mesir yang menggulingkan Presiden Hosni Mubarak setelah 30 tahun berkuasa. Tansisi kekuasaan yang diharapkan lancar ternyata  tak terwujud. Militer Mesir kemudian merebut kembali kekuasaan, dan saat ini negara itu diperintah oleh Presiden Abdel Fattah el-Sisi.

3. Libya. Setelah Revolusi Libya pada tahun 2011, Presiden Muammar Gaddafi digulingkan dan dibunuh, kemudian transisi kekuasaan di Libya tidak berjalan lancar dan sejak saat itu terus bergolak dalam konflik dan kekerasan.

4.Irak.  Setelah invasi Amerika Serikat  tahun 2003, transisi kekuasaan di Irak tidak stabil akibat  pemerintah baru yang didukung Amerika Serikat telah menghadapi tantangan yang besar dalam membangun stabil dan demokratis.

5. Venezuela. Presiden Hugo Chavez memerintah Venezuela selama 14 tahun sebelum kematiannya tahun 2013. Setelah itu, transisi kekuasaan di Venezuela tidak stabil. Pada tahun 2019, pemimpin oposisi Juan Guaido menyatakan dirinya sebagai presiden sementara, tetapi pemerintah yang didukung oleh militer terus mempertahankan kekuasaannya. Situasi politik dan ekonomi di Venezuela terus memburuk sejak saat itu.